Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Laporan Tahunan Dihadapan RUPS dalam Kasus PT. Waskita Karya

I.    Latar Belakang

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yang dimaksud dengan Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Perseroan memiliki tiga organ untuk menjalankan usahanya dalam mendapatkan keuntungan.

Baca Juga:  Menghasilkan uang melalui internet dengan Google Adsense
Makalah Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Laporan Tahunan Dihadapan  RUPS dalam Kasus PT. Waskita Karya
Organ Perseroan tersebut adalah Direksi, RUPS dan Komisaris. Masing-masing organ perseroan memiliki peran yang saling berkaitan satu sama lain. Dengan peranan yang saling menunjang satu sama lain tersebut terjadi suatu koordinasi antara organ Perseroan untuk menjalankan perusahaan.
Salah satu organ Perseoran adalah Direksi. Menurut Pasal 92 ayat (1) Direksi bertugas untuk menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Dengan tugas Perseroan tersebut apapun yang berhubungan dengan operasional Perseroan merupakan tanggungjawab dari Direksi. Direksi mempunyai kewajiban-kewajiban dalam menjalankan perusahaan. Diantara kewajiban tersebut adalah membuat laporan tahunan yang akan disampaikan dalam RUPS dan RUPS berhak melakukan pemeriksaan terhadap laporan tersebut. Hal ini dimuat dalam Pasal 100 ayat (3) Undang-undang Perseroan Terbatas.
Tentunya pemberlakuan Undang-undang Perseroan terbatas ini tidak serta merta  berlaku secara ideal. Terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh subjek hukum dalam perusahaan berupa penyelewengan oleh organ Perseroan itu sendiri. Pihak yang berkepentingan mencari celah untuk terhindar dari hukum, melakukan penipuan bahkan manipulasi dari data serta laporan yang menjadi kewajibannya sebagai pelaksana Perseroan. Direksi yang berkepentingan dalam mencari keuntungan sendiri lebih cenderung melakukan kecurangan dalam pelaksanaan wewenangnya dalam Perseroan. Kecurangan-kecurangan tersebut memberikan dampak kepada anggota yang lain berupa kerugian.
PT. Waskita Karya sebagai Perseroan tak luput dari kecurangan. Kecurangan tersebut dilakukan oleh dewan Direksinya. Dengan adanya pelanggaran terhadap Undang-undang PT perlu diberikan analisis tentang bagaimana sebenarnya pertanggungjawaban dewan Direksi yang melakukan pelanggaran serta megetahui akibat hukum yang diterima jika melakukan kesalahan dengan studi kasus pelanggaran yang dilakukan oleh tiga orang Direksi DI PT. Waskito Karya.
Melalui latar belakang tersebut penulis mencoba menganalisis kasus Waskita Karya dengan judul : Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Laporan Tahunan Dihadapan  RUPS dalam Kasus PT. Waskita Karya

II.    Rumusan Masalah

adapun rumusan masalah yang penulis jadikan analisis dalam tulisan ini adalah bagaimana pertanggungjawaban direksi yang melakukan rekayasa laporan keuangan PT. Waskita Karya menurut UU No. 40 Tahun 2007?

III.    Posisi Kasus

Tiga Direksi Waskita Dinonaktifkan
TEMPO Interaktif, Jakarta - Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) resmi menonaktifkan tiga direksi PT Waskita Karya (Persero) terkait kelebihan pencatatan (overstate) laba bersih pada laporan keuangan 2004-2007. Sekretaris Kementerian Negara BUMN Said Didu mengungkapkan non aktif telah dilakukan sejak dua minggu lalu. Dari tiga direksi, dua orang direksi bekerja di Waskita dan sisanya ada di BUMN lain. Menurut penelurusan Tempo, direksi Waskita pada 2004-2007 yaitu Umar T. A., Triatman, Bambang Marsono, dan Kiming Marsono. Said memastikan salah satu yang dinonaktifkan yakni Kiming Marsono. "Menteri BUMN sudah bentuk tim untuk membela mereka," ujarnya di kantor Kementerian BUMN, Jumat (28/8). Surat kepada Departemen Keuangan untuk menindak kantor akuntan publik Waskita, dia melanjutkan, juga sudah diteken. Dalam surat itu Menteri BUMN Sofyan Djalil meminta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) untuk memberi sanksi kantor akuntan publik jika terbukti terlibat dalam rekayasa keuangan. "Ini pelajaran, direksi jangan coba-coba lakukan rekayasa," tegas Said. Terbongkarnya kasus ini berawal saat pemeriksaan kembali neraca dalam rangka penerbitan saham perdana tahun lalu. Direktur Utama baru, M. Choliq yang sebelumnya menjabat Direktur Keuangan PT Adhi Karya (Persero) Tbk, menemukan pencatatan yang tak sesuai. Dalam pemeriksaan itu ditemukan kelebihan pencatatan sekitar Rp 400 miliar. Akibatnya penawaran saham Waskita ditunda hingga PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) menyelesaikan restrukturisasi yang diperkirakan memakan waktu dua tahun. PPA membutuhkan dana suntikan Rp 200 miliar untuk menyehatkan Waskita. "Menkeu minta direksi dihukum dulu baru disuntik," kata Said. Bila terbukti bersalah, direksi harus mengembalikan semua keuntungan kepada negara. Menurut Said, kasus ini muncul sebagai akibat kedekatan persero dengan kantor akuntan publik. Karena itu dia mengusulkan agar seluruh BUMN menjaga hubungannya dengan kantor akuntan publik. Buntut kasus Waskita, sebuah perbankan memutuskan tak mau mengucurkan dananya untuk perusahaan pelat merah itu. Dia juga mengungkapkan pemerintah mendapatkan laporan serupa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada BUMN tak terdaftar. "Beda hasil audit BPK dan kantor publik akuntan," ujarnya. Namun dia enggan menyebut nama BUMN itu.
IV.    Analisis Kasus
Menurut Tri Widiyono (2005) keberadaan direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan. Tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi perseroan terbatas sangat penting. Walau tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan direksi dalam suatu perseroan terbatas, yang jelas, direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi, karena direksi berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama perseroan (baik di dalam maupun di luar pengadilan) dan bertanggung jawab atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. (Lihat Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 92 ayat (1) UUPT. Kemudian dari rumusan Pasal 92 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas dapat diketahui bahwa organ perseroan yang bertugas melakukan pengurusan perseroan adalah direksi. Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan (Gunawan Widjaja, 2004:21).
Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak memberikan suatu ketentuan lebih lanjut mengenai makna pengurusan perseroan oleh direksi. Fred B.G. Tumbuan dalam “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta Kedudukan RUPS Perseroan Terbatas” yang dikutip Gunawan Widjaja (2004), mengatakan bahwa kewenangan pengurusan tersebut dipercayakan oleh undang-undang kepada direksi untuk kepentingan perseroan sebagaibadan hukum yang mempunyai eksistensi sendiri selaku subjek hukum mandiri (Persona standi in judicio). Dalam menjalankan fungsinya tersebut, direksi perseroan terikat pada kepentingan perseroan sebagai badan hukum.
Direksi merupakan satu-satunya organ dalam perseroan yang melaksanakan fungsi pengurusan perseroan. Pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama dari direksi suatu perseroan, yaitu sebagai berikut:
a)    Fungsi menejemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin perusahaan. Fungsi menejemen ini dalam hukum Jerman disebut dengan Geschaftsfuhrungs-befugnis, dan menurut Tri Budiyono (2011;167) fungsi menejemen/pengelolaan menempatkan Direksi sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap maju mundurnya perusahaan, khususnya dalam mewujudkan tujuan perusahaan, maka dirinya harus dilengkapi otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan (perbuatan) hukum. Dengan kata lain ia harus bertindak sebagai subyek hukum.
b)    Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan menyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan untuk kepentingan perseroan. Fungsi representasi ini dalam hukum Jerman disebut dengan Vertretungsmacht (Munir Fuady, 2002: 32). Fungsi representasi menurut Tri Budiyono (2011:167-168) sejatinya menjadi perwujudan subjek hukum yang melekat pada perseroan terbatas sebagai subjek hukum (legal entity atau rechtpersoon). Dengan fungsi representasi ini Direksi melakukan perbuatan hukum tidak dalam kapasitas sebagai pribadi (baca subyek hukum alamiah/natuurlijkepersoon) tetapi bermetamorfose pada perseroan. Dalam fungsinya yang demikian seringkali dikatakan bahwa Direksi menjadi personifikasi dari perseroan terbatas. Dalam hal ini mempertegas bahwa perseroan sebagai subyek hukum sejatinya hanya merupakan konstruksi hukum. Ia hanya dapat dipahami secara virtual melalui konstruksi hukum berfikir yang kemudian dikukuhkan dan diakui eksistensinya secara yuridis.
Keberadaan dan fungsi Direksi perseroan terbatas berdasarkan UUPT dapat dilihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut :
a.    Pasal 1 ayat (2) UUPT yang menyatakan organ perseroan adalah rapat umum pemegang saham, direksi dan komisaris.
b.    Pasal 1 ayat (5) UUPT yang menyatakan direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai ketentuan anggaran dasar.
c.    Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan kepengurusan perseroan dilakukan oleh direksi.
d.    Pasal 97 jo Pasal 98 UUPT yang menyatakan, direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
e.    Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.
f.    Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar (intra vires) dan tidak melampui batas kewenangannya.
Selama Direksi melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya (intra vires), maka sudah selayaknyalah tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, walaupun Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUH Perdata merumuskan bahwa :
a)    Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang- barang yang berada dibawah pengawasannya (Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata).
b)    Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan, atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya (Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata). Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan Direksi tersebut, termasuk apabila mengalami kerugian atau kepailitan. Hal inilah yang dimaksud dengan doktrin bussiness judgement rule. Sedangkan bagi tindakan-tindakan Direksi yang merugikan Perseroan, yang dilakukan di luar batas kewenangan yang diberikan kepadanya oleh Anggaran Dasar (ultra vires), dapat tidak diakui oleh atau sebagai tindakan perseroan. Dengan ini, berarti direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya yang di luar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar perseroan.
Tindakan direksi dalam mengurus perseroan tidak hanya berdasarkan ketentuan yang ada pada UUPT dan atau anggaran dasar perseroan yang bersangkutan. Tindakan direksi juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a)    Intravires dan Ultravires
Secara sederhana menurut Tri Widiyono (2005: 43) pengertian intravires adalah dalam kewenangan, sedangkan ultravires diartikan sebagai "bertindak melebihi kewenangannya". Berkaitan dengan intravires dan ultravires, Fred B.G. Tumbuan sebagaimana dikutip oleh Try Widiono (2005) menyatakan bahwa : Intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak PT (termasuk dalam maksud dan tujuan PT). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan PT). Ultra Vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu pada hakikatnya adalah sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi ternyata berada di luar kecakapan bertindak PT, sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.
Mengenai ultravires ini I.G. Rai Widjaya (2000: 227) menyatakan: Disebut ultravires apabila tindakan yang dilakukan berada di luar kapasitas (capacity) perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan perusahaan yang tercantum dalam Anggaran Dasar. Di Inggris, suatu tindakan ultra vires adalah hanya bila secara jelas di luar tujuan pokok perusahaan. Perbuatan ultra vires pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal demi hukum dan oleh karena itu tidak mengikat perseroan (Gunawan Widjaja, 2004: 22). Dalam hal ini ada 2 (dua) hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires perseroan, yaitu :
1)    Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta anggaran dasar perseroan adalah tindakan yang berada di luar maksud dan tujuan perseroan.
2)    Tindakan dari direksi perseroan di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk anggaran dasar perseroan.
Prinsip-prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur suatu perbuatan hukum para pengurus perseroan, apakah perbuatannya sesuai dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau tidak (Tri Widiyono, 2005: 44). Jika perbuatan tersebut melampaui kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar, maka pengurus perseroan tersebut harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, baik pidana maupun perdata. Sampai seberapa jauh suatu perbuatan dapat dikatakan telah menyimpang dari maksud dan tujuan perseroan sehingga dapat kategorikan sebagai perbuatan ultra vires, harus dapat dilihat dari kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktik dunia usaha.
b)    Fiduciary duty
Mengurus perseroan bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, agar perseroan tersebut terurus sesuai maksud didirikannya perseroan, maka untuk menjadi direksi perlu persyaratan dan keahlian. Pendelegasian wewenang dari perseroan kepada direksi untuk mengelola perseroan terbatas lazim disebut sebagai fiduciary duty (Tri Widiyono,2005: 8). Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tugas yang terbit dari suatu hubungan fiduciary antara direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direksi berkedudukan sebagai trustee. Oleh karena itu ”seorang direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan ”derajat yang tinggi” (high degree)”.(Munir Fuady, 2002 : 49)
Pada dasarnya Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar perseroan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan. Ini berarti direksi memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan (Gunawan Widjaja, 2004: 32). Sehubungan dengan hal tersebut Paul L. Daviesz dalam Gower's Principles of Modern Company Law yang dikutip oleh Gunawan Widjaja (2004) menyatakan bahwa:
In applying the general equitable principle to company directors, four separate rules have emerged. These are:
1)    That directors must act in good faith in what they believe to be the best interest of the company;
2)    That they must not exercise the powers conferred upon them for purposes different from those for which they were conferred;
3)    That they must not fetter their discretion as to how they shall act;
4)    That, without the informed consent of the company, they must not place themselves in a position in which their personal interests or duties to other persons are liable to conflict with their duties.
Dalam kasus pe-nonaktif-an tiga Direksi PT. Waskita Karya dilakukan karena terjadi perbuatan yang melebihi kewenangan yang diatur dalam Undang-undang, sehingga membuat Direksi dapat dijatuhi sanksi secara tegas. Dalam hal ini sanksi yang dijatuhi sangat tegas yaitu pe-nonaktif-an sebagai Direksi karena telah melanggar Undang-undang Perseroan Terbatas yang dapat merugikan pemegang saham serta keuangan milik negara.

V.    KESIMPULAN

Dari pembahasan analisis kasus PT. Waskita Karya dalam hal pencopotan jabatan tiga dewan direksi Perseroan dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tugas dan wewenang dewan direksi harus dijalankan sesuai amanah Undang-undang Perseroan Terbatas dan dilaksanakan dengan iktikad baik. Dengan adanya iktikad baik dari Direksi dapat meminimalisir pemanfaatan keadaan demi kepentingan pribadi sehingga bertindak dalam Perseroan melebihi wewenang yang ditetapkan Undang-undang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Gunawan Widjaja, 2004, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT Raja Grafindo Persada,Jakarta.

G. Rai Widjaya, 2000,Hukum Perusahaan, cet. 2, PT Megapoin, Jakarta.

Munir Fuady, 2002,Perseroan Terbatas Paragdigma Baru, Cetakan 2, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

Try Widiyono, 2005, Direksi Perseroan Terbatas,PT Ghalia Indonesia,Bogor.

Tri Budiono, 2011, Hukum Dagang, Griya Media, Salatiga

Baca juga:

Posting Komentar untuk "Makalah Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Laporan Tahunan Dihadapan RUPS dalam Kasus PT. Waskita Karya"

Pasang Backlink Profesional Terpercaya untuk Blog Anda di Website Ini

KLIK DISINI