Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

72 TAHUN MENJADI INDONESIA

REFLEKSI HUT KEMERDEKAAN KE 72 REPUBLIK INDONESIA
Oleh: Junardi (Lurah Awardee DIY)

     Teringat kata-kata bijak yang mengatakan “Jika ingin melihat masa depan sebuah bangsa, maka lihatlah pemudanya. Jika pemudanya baik, maka baiklah nasib suatu bangsa, jika pemudanya buruk, maka buruklah nasibnya”. Kata-kata ini tentulah terlalu gamblang untuk kita lihat maknanya, karena langsung tersirat dalam pembahasaannya. Tapi yang harus kita lihat dari kata-kata ini adalah nilai visi masa depannya dengan melihat sebuah entitas manusia yang disatukan dalam sebuah bingkai kesatuan. Kata-kata ini mengandung sebuah isyarat tentang bagaimana kita harus mengambil prioritas untuk menjaga keutuhan kehidupan bangsa di masa depan. Dan prioritas itu adalah pemuda.

Baca Juga:  Menghasilkan uang melalui internet dengan Google Adsense

     Dalam luasnya bentangan peradaban, pemuda selalu mendapatkan tempat yang terhormat dalam setiap hentakan bersejarah. Ada begitu banyak peristiwa heroik dalam rentetan sejarah peradaban manusia yang mendaulatkan pemuda sebagai aktor utamanya. Terkenal dengan keberaniannya, dengan narasi argumentasinya, dengan kemampuannya menggerakkan lautan manusia untuk berperang melawan ketidakadilan dan penjajahan. Kita juga tentu ingat dengan heroisme pemuda Indonesia ketika menculik Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 ke Rengasdengklok, agar bangsa ini segera memproklamirkan kemerdekannya. Dalam suasana yang sangat genting, dalam ketidak jelasan arah nasib bangsa dan dalam suasana perang mereka menerobos pagar peradaban sehingga mampu tampil sebagai pelakon sejarah kemerdekaan bangsa ini. Tidak ada kisah yang lebih herois pada detik-detik kemerdekaan, kecuali peristiwa penculikan itu. Ini menandakan bahwa pemuda pada saat itu telah menunaikan kewajiban zamannya untuk menorehkan warisan bersejarah berupa kemerdekaan Bangsa Indonesia.
     Hari ini tentu medannya berbeda. Jika dulu pemuda dituntut untuk berperang secara nyata dan dengan konfrontasi bahkan dengan angkatan bersenjata/militer, maka pada era ini tantangan pemuda bukanlah musuh yang dengan nyata menyatakan perang, akan tetapi perang Pemikiran, Perang Ideologi, Perang Ekonomi, perang tehnologi dan perang budaya. Akumulasi semua medan perang itu lebih mengarahkan pemuda untuk sibuk mengurus dirinya sendiri karena dampaknya hadir pada membengkaknya kebutuhan pribadi (Fashion, style, makanan dan lainnya), sehingga lupa pada medan yang lebih luas, yaitu bangsa.
     Saya teringat sebuah prinsip Tsu Zu yang mengatakan “Kenali dirimu, kenali musuhmu. Seribu kali perang, seribu kali menang”. Saya menggunakan prinsip Tsu Zu ini karena kita dapat menyaksikan bagaimana pemuda hari ini sudah banyak yang tidak mengenal dirinya sendiri, lupa bahwa dirinya cukup bernilai untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Sehingga jangankan berbicara untuk menjadi negara berdaulat dan mandiri, urusan yang paling esensial yaitu pemuda saja kita belum selesai. Deretan peristiwa memilukan yang menimpa pemuda akhir-akhir ini adalah sebuah pemandangan yang menyajikan secara gamblang bahwa kita sedang melangkah ke arah keputusasaan masa depan. Di sisi lain ketika sebagian pemuda di dekatkan dengan akses pemerintahan dan politik, maka kita juga akan menemukan pemandangan yang lebih memilukan lagi, dimana sederetan pemuda dengan bekal intelektual dan emosional yang cukup mapan berlomba mengakses proyek dan program pembangunan. Alih-alih menghadirkan kemaslahatan, nyatanya untuk meraup keuntungan.
     Kita tentu sedang sadar bahwa kita mengalami degradasi yang sangat akut di semua dimensi kehidupan berbangsa kita, sehingga penguatan kembali akan nilai-nilai kemerdekaan, nilai-nilai kebangsaan sangat penting untuk kita tumbuhkan pada generasi negeri ini. Disamping itu pendekatan-pendekatan nasionalisme harus terus digalakkan, sehingga akan semakin banyak tunas-tunas baru bangsa ini yang melangkah dengan visi pembaharu untuk mengembalikan semangat bangsa pada nilai-nilai keluhurannya. Paling tidak ada 3 pendekatan-pendekatan yang cukup mewakili nilai pendekatan nasionalisme, diantaranya :
  • Pendekatan Gerakan
     Tidaklah semua kisah pemuda hari ini tentang kepiluan, karena di seluruh pelosok-pelosok negeri ini ada banyak anak-anak muda yang tumbuh dengan kealamiannya dan bergerak dengan kesadaran dan optimismenya. Ada begitu banyak pemuda-pemudi yang menjadi motor penggerak pembangunan di desa dan daerahnya masing-masing. Ada yang tergerak dalam komunitas-komunitas ataupun dengan inisiatif dan biaya pribadi. Ada yang membangun TPQ, perpustakaan untuk anak-anak di kampung, membuka kursus gratis dirumahnya dan sebagainya. Tentulah ini menjadi referensi yang harus menyulut optimisme kita bahwa masa depan kebangsaan kita bukanlah sebuah fatamorgana. Ada begitu banyak dari gerakan-gerakan pemuda itu yang mendapatkan dukungan masyarakat dan mampu menyalakan semangat pastisipasi masyarakat dalam pembangunan kembali pondasi moral dan kesatuan.

     Contoh yang paling nampak misalnya gerakan “Indonesia Mengajar” yang di inisiasi oleh Bapak Anies Baswedan. Gelombang dukungan dan antusiasme kaum muda inteleletual sangat besar dan massiv. Mereka rela ditempatkan di daerah-daerah pelosok, terpencil dan sangat terbatas terhadap akses (Transportasi, komunikasi dan Konsumsi) bahkan dengan insentif yang jauh dari cukup, hanya demi perwujudan sebuah mimpi untuk memberantas angka buta huruf di negeri pertiwi ini. Gerakan yang lain misalnya adalah “Gerakan Indonesia Mengaji” dari Yayasan PPPA Darul Quran binaan KH. Yusuf Mansur yang menggerakkan pemuda-pemuda ke seluruh pelosok negeri, bahkan sampai ke daerah-daerah ekstrim untuk mengajar mengaji. Ini memberikan gambaran kepada kita bahwa masih ada banyak pemuda-pemuda Indonesia yang masih optimis dengan masa depan negerinya.
    
     Pendekatan gerakan adalah pendekatan yang mengedepankan ide, kemampuan merasionalisasikan ide dan mentransfer nilai ide pada orang lain. Ide Anies Baswedan dan Yusuf Mansur telah menggerakkan begitu banyak pimpinan perusahaan dan orang-orang kaya untuk menjadi funder dan anak-anak muda intelek untuk menjadi mesin gerakan. Itulah sebabnya kita memerlukan lebih banyak penggerak-penggerak untuk melahirkan ide-ide yang mampu menggerakkan naluri dan hati anak-anak muda intelek bangsa ini untuk ikut turun tangan menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa.
  • Pendekatan Partisipatif
     Dulu kita mengenal istilah “Gotong Royong” sebagai semboyan pembangunan. Seiring waktu gerakan gotong royong semakin pudar karena kegiatan kampanye dan penggerak-penggerak gotong royong menghilang di telan peradaban. Perkembangan teknologi dan perbedaan kelas di tengah-tengah masyarakat menjadikan semangat gotong royong kabur ke negeri antah barantah. Perkembangan teknologi menjadikan orang menjadi sibuk dengan dirinya sendiri, karena komunikasi persuasif lansung semakin ditinggalkan dan beralih menjadi komunikasi interaktif. Sedangkan perbedaan kelas menyebabkan orang punya kesibukan dan kebutuhan yang berbeda-beda di tengah masyarakat, sehingga waktu untuk bersama dan bekerjasama semakin sedikit.

     Teori pembangunan berbasis infrastruktur yang kita anut selama ini juga menjadi pemicu pragmatisme di tengah-tengah masyarakat dan kaum muda intelek. Kedekatan kepada akses proyek pembangunan menjadi pemicu perbedaan kelas di masyarakat, sehingga semangat gotong royong tinggal semboyan saja. Ruth E. Gordon and Jon H. Sylvester (2004) memberikan kritik terbuka terhadap pola pembangunan berbasis infrastruktur yang cenderung instruktif dan tidak melibatkan masyarakat sebagai pelaku pembangunan. Mereka berpendapat bahwa pembangunan berbasis infrastruktur dirancang sebagai “set of practices and believes” atas imajinasi budaya dan politik barat untuk menguatkan dominasinya atas negara-negara berkembang seperti Indonesia. Oleh sebab itu paradigma pembangunan ini menghilangkan paradigma pembangunan berbasis gotong royong atau partisipatif di negeri ini.

     Alasan kenapa pendekatan pembangunan partisipatif/gotong royong harus kita hidupkan kembali adalah karena pendekatan ini memungkinkan semua orang untuk berinisiatif, mengeluarkan pendapat/dialog dan bekerja dengan keikhlasan untuk kemajuan bersama serta mengedepankan proses ketimbang hasil (Mozammel, 2008). Oleh karena itu sebagai bangsa yang beragam dan memiliki nilai-nilai luhur, maka semangat Gotong Royong atau pendekatan partisipatif harus kita galakkan dalam rangka mengembalikan keutuhan kebersamaan, kesatuan dan persatuan kita. Pendekatan partisipatif juga memungkinkan kita untuk merangkai kembali tenun kebangsaan (Anies Baswedan) kita yang telah rusak oleh pragmatisme dan kapitalisme.
  • Pendekatan Kultural
     Sebagai bangsa yang majemuk, pendekatan kultural adalah salah satu pendekatan yang sangat efektif. Dari 17.499 pulau yang tersebar dalam bentangan republik ini, ada begitu banyak suku, agama, bahasa dan adat itiadat dengan budaya dan cara-cara yang berbeda dalam mengaktualisasikan kebersamaannya. Dalam begitu banyak referensi kita menemukan bahwa ikatan kultur adalah ikatan yang mampu menggerakkan orang/manusia untuk berkreatifitas secara bersama-sama. Sebagai contoh misalnya; parade ogoh-ogoh oleh masyarakat hindu. Ketika parade ini disiapkan semua mengambil bagian untuk berpartisipasi dan berkontribusi. Begitu juga misalnya dengan suku sasak yang mengadakan kegiatan Nyongkolan ketika ada yang menikah, semua masyarakat ikut berpartisipasi. Contoh lainnya misalnya saat umat islam melaksanakan kegiatan pembangunan masjid, dimana masyarakat dari semua kelas ikut berpartisipasi. Artinya ketika kepentingan itu untuk kepentingan bersama pada suatu kultur/budaya tertentu, maka orang akan lebih tergerak untuk berpartisipasi.
     
     Contoh-contoh diatas menjadi gambaran nyata, betapa pendekatan kultural bisa menjadi acuan dalam merajut kembali keutuhan dan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Sehingga rancangan model pendekatan harus disusun dengan pendekatan bottom up untuk memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat yang dengan kuat memahami kultur, kebutuhan dan pandangannya.
     
     Harapan terbesar pembangunan negeri ini adalah para pemuda-pemuda terdidik di seluruh penjuru negeri ini manjadi inisiator dan penggerak dari gerakan-gerakan pembangunan dengan berbasis pendekatan Gerakan, Partisipatif dan kultural. Hal ini akan mengembalikan pengakuan pemuda sebagai agen pembangunan dan agen perubahan. Sehingga pandangan-pandangan pragmatis atau tukang proyek proposal dan sebagainya yang melekat pada sebagian pemuda intelek dan terdidik dapat terkikis. Kita harus yakin bahwa kita tidaklah sendiri. Ada ratusan pemuda seperti Anies Baswedan dan Yusuf Mansur yang tersebar di pelosok-pelosok negeri ini yang bergerak untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini.

REFLEKSI HUT KEMERDEKAAN KE 72 REPUBLIK INDONESIA Oleh: Junardi (Lurah Awardee DIY)


Refleksi HUT Kemerdekaan ke 72 RI
     Tujuh Puluh Dua (72) tahun yang lalu Indonesia secara sadar memproklamasikan kemerdekaannya. Sebuah peristiwa paling bersejarah dalam perjalanan bangsa kita. Peristiwa proklamasi adalah puncak dan akumulasi dari perjalanan maha panjang bangsa ini. Peristiwa yang dipenuhi dengan genangan darah dan serakan tulang belulang dari para pahlawan yang berjuang mewujudkannya. Betapa kita harus bersyukur dengan hari itu, karena hari itu telah mengawali kisah panjang kemerdekaan bangsa kita sampai hari ini.
    
     72 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk merasionalkan keterpurukan pencapaian bangsa kita saat ini. 72 tahun merdeka adalah waktu yang cukup untuk menjadi sebuah bangsa yang matang dan berdaya. Oleh karena itu saya merasa generasi kita harus mengambil peran signifikan untuk mengejar ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa yang lain. Pertanyaan besarnya adalah apa yang harus kita lakukan untuk mengekspresikan peran kita dalam rangka mengejar ketertinggalan bangsa kita dalam pembangunan yang terpuruk di berbagai dimensi?
   
     Sekali lagi saya ingin mengulang Prinsip Tsu Zu “Kenali dirimu, kenali musuhmu. Seribu kali perang, seribu kali menang”. Langkah pertama kita adalah mengenali diri kita, mengenali bangsa kita. Karena “adalah bullshit jika kita berbicara dengan bahasa yang tinggi sedang kita melompati beberapa jenjang bahasa yang seharusnya kita keluarkan”. Perumpamaan diatas dimaksudkan bahwa kita harus mulai berbicara pada bagian yang terdekat dengan diri kita. Seperti bahasanya Mohammad Hatta “Selesai dengan diri sendiri” yang menempatkan hal mendasar yang harus kita dahulukan adalah menguasai diri sendiri. Kita masih berdilema dengan moral, kita masih bernegosiasi dengan ambisi, kita masih terpuruk dengan ketiadaan ide, kita masih kosong dengan pengetahuan keindonesiaan dan bahkan kita masih bingung dengan sejarah dan cita-cita bangsa kita, sehingga pantaslah kemudian kita tidak bisa mempersiapkan ancang-ancang bangsa kita untuk melompat lebih tinggi melampaui negara-negara lain. 
   
    Oleh karena itu gerakan-gerakan harus mulai dirancang. Pengajaran nilai-nilai luhur keindonesiaan, Peningkatan skill individu pemuda pada bidang Teknologi, Informasi dan Komunikasi harus digalakkan. Penguatan nilai-nilai moral keagamaan dan perancangan model pendidikan yang mengarahkan peserta didik pada semangat nasionalisme dan pengenalan kebudayaan Indonesia harus di lakukan. Pemuda terdidik (seperti katanya Anies Baswedan “Mendidik adalah kewajiban setiap orang yang terdidik”) harus mengambil peran penting dalam vase ini. Sinergi dari seluruh elemen pemuda menjadi ujung tombak dari keberlangsungan bangsa indonesia. Sehingga generasi kita nantinya akan meninggalkan cerita baik kepada generasi selanjutnya, bahwa generasi kita tidak tinggal diam, kita turun tangan dalam memecahkan masalah-masalah kebangsaan dan berperan signifikan dalam pembangunan.

       Di umur Indonesia yang ke 72 ini, kita harus menyiapkan ancang-ancang dan mengambil peran signifikan agar pada umur Indonesia yang ke 100 di tahun 2045 nanti, kita akan menyaksikan bangsa kita sebagai bangsa yang besar, mandiri dan berdaulat. Maka curahan ide dan kucuran keringat yang kita dedikasikan hari-hari ini akan menentukan apakah tahun 2045 bangsa indonesia akan menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulat ataukah menjadi bangsa yang terpuruk dan bangkrut. Mari kita lepaskan egoisme kita, Kita sudahi budaya Pragmatisme kita, dan kita pacu semangat dan motivasi belajar kita lalu kita buktikan kepada bangsa ini bahwa kita benar-benar Generasi 72 tahun Indonesia. MERDEKA!

#HUTRI72
#SahabatTebe
Sahabat Tebe

Baca juga:

Posting Komentar untuk "72 TAHUN MENJADI INDONESIA"

Pasang Backlink Profesional Terpercaya untuk Blog Anda di Website Ini

KLIK DISINI