Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resume Buku Komunikasi dan Identitas Kepemimpinan, Studi Tentang Kepemimpinan BJ Habibie

Terusberjuang.com - Resume Buku Komunikasi dan Identitas Kepemimpinan, Studi Tentang

Kepemimpinan BJ Habibie
Oleh: Ciptro Handrianto

Pengarang      : Dr. Dwi Purbaningrum
Tahun terbit    : 2011
Penerbit         : Lokus

Habibie merupakan tokoh fenomenal di republik ini. Ia terkenal dengan kecerdasan intelektual yang dibuktikannya dengan IQ yang tinggi. Selain itu kiprah dan latar belakang pendidikannya juga menjadi sorotan publik. Makanya tidak heran, Soeharto memanggilnya untuk pulang dari Jerman sebagai pembantunya dalam mengelola negeri ini sebagai seorang tekhnolog ulung.

Baca Juga:  Menghasilkan uang melalui internet dengan Google Adsense

Resume Buku Komunikasi dan Identitas Kepemimpinan, Studi Tentang Kepemimpinan BJ Habibie
Ternyata fakta sejarah berkata lain, Habibie yang semula hanya seorang pemikir dalam teknologi, kemudian menjadi pembantu presiden (mentri), dan terakhir jenjang karir mengantarkannya sebagai RI 1. Hal ini dilatarbelakangi oleh sosok pribadi Habibie itu sendiri, karena selain tokoh intelek, dia mampu merepresentasikan dirinya sebagai tokoh yang unik sebagai pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini di saat genting. Dia telah menyelamatkan roda reformasi, sehingga Bangsa Indonesia telah sampai pada demokrasi yang bermartabat dibandingkan Orde Baru maupun Orde Lama.

Dalam buku ini dideskripsikan ketokohan seorang Habibie dari komunikasi dan identitas kepemimpinan yang melekat pada dirinya. Dapat diuraikan dalam beberapa fase, yaitu: pertama, fase persiapan. Habibie berkembang di lingkungan keluarga yang sangat mapan, maju, dan memiliki pandangan hidup yang jelas untuk dicapai. Dalam interaksi intensif terus menerus dengan significant others yang demikian, terutama kedua orang tua dan saudara-saudara kandungnya, ia dapat memasuki fase pemainan (the play stage), dan selanjutya fase perlombaan (the game stage) secara lebih pasti dan terarah tanpa mengalami konflik. Ia mempunyai self concept positif yang mampu berkembang menjadi self esteem, self judgment, dan self control yang kuat.

Kedua, kecerdasan dan interaksi yang luas. Identitas kepemimpinan ini diperoleh dari kelompok-kelompok sosial, termasuk keluarga, kelompok teman sepermainan, dan teman sekolah. Kecerdasan yang menonjol menjadi modal personal dan sumber pengaruh  di kalangan sanak saudara. Di kalanagan kelompok sebaya di lingkungannya, kecerdasannya yang menonjol menambah pengaruh yang bersumber  dari status elit keluarganya, sehingga ia semakin disegani. Di kalangan teman-teman dari sesama keluarga elit di sekolah, pengaruh yang bersumber pada kecerdasannya yang menonjol bertambah besar berkat kemampuannya menyanyi. Kehadiran dan partisipasinya dalam kegiatan-kegiatan kelompok teman sekolah dianggap sebagai daya tarik. Hal ini menunjukkan bahwa ia mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dalam interaksi sosial dengan berbagai kelompok. Dalam interaksi sosial diakui bahwa ia mampu menunjukkan kejujuran dan kehangatan melalui ungkapan verbal dan nonverbal, khususnya melalui bahasa mata, wajah, dan aksen bicara.

Ketiga, kharisma dan kredibilitas. Kharisma merupakan konsep yang dicetuskan oleh Max Weber untuk menunjukkan jenis kepemimpinan yang muncul dari kualitas pribadi istimewa. Konsep tersebut sama sekali berbeda dari konsep kepemimpinan tradisional yang mengandalkan kebangsawanan yang merupaka warisan feodal, atau kepemimpinan birokratis yang bertumpu pada legitimasi legal rasional. Kalau ketika di Indonesia Habibie diterima sebagai orang terpercaya yang punya kredibilitas tinggi, kejujuran, keterbukaan, keahlian, dan kompetensi, dan status sosial, maka mulai saat itu ia juga dikenal sebagai aktor sosial yang punya kharisma dan daya pikat, antusiasme, kehangatan, kepekaan sosial, dan kesamaan cita-cita yang memikat orang dari berbagai kelompok yang berinteraksi dengannya.

Keempat, visi masa depan. Selain pandai menjual visi dan keahliannya, seorang pemimpin kharismatik juga pandai menjual diri sendiri. Bagi Presiden Soeharto, Habibie adalah tokoh ahli IPTEK yang dibutuhkan untuk menyongsong tahap tinggal landas pembangunan. Bagi Habibie kepercayaan Soeharto adalah tantangan untuk memasuki gerbang lingkaran birokrasi pembangunan yang sekaligus merupakan perwujudan impiannya guna menyumbangkan seluruh pikiran, energi, dan keahliannya pada ibu pertiwi.

Kelima, kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik Habibie tampak diterima dengan sikap resisten di kalangan pimpinan Golkar sendiri, baik dari elemen sipil maupun militer. Legalitas dan rasionalitas  birokratis yang dimiliki sebagai pemimpin teknokrat-birokrasi sering menunjukkan gejala perselisihan di kalangan dewan pembina maupun pimpinan partai. Bahkan dalam pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) ia lebih  mengandalkan kedudukannya sebagai pemimpin teknokrat-birokratis dan linking pin atau penghubung dengan presiden sebagai pemimpin nasional dan menjadi bingkai dari berbagai kelompok cendekiawan Islam yang kepentingannya berbeda-beda.

Sebagaimana diakui oleh kalangan tokoh ICMI, Habibie adalah idola bagi kebanyakan insinyur yang menjadi pencetus gerakan ICMI. Dengan demikian yang mendorong mereka mendekatai Habibie adalah kehebatan reputasinya di bidang teknologi, baru kemudian kedudukannya sebagai orang kepercayaan Pak Harto, dan wakil presiden. Para pencetus gerakan ICMI adalah cendikiawan di perguruan tinggi dan aktivis sosial politik. Setelah terbentuk dengan ketua umum Habibie, ICMI mampu menjangkau tokoh-tokoh Islam yang kebanyakan duduk di birokrasi pemerintah, cendekiawan perguruan tinggi, badan-badan riset nasional, dan para aktivis sosial yang memperjuangkan perubahan, ICMI tidak hanya membangkitkan semangat modernisasi Islam yang tidak perlu harus bertentangan dengan pemerintah. Lebih dari itu, ICMI juga memberikan haura kepada Habibie sebagai pemimpin Islam yang telah lama ditunggu-tunggu. Artinya, sebagai ketua umum ICMI, ia tidak hanya sebagai pemimpin sosial, pemimpin teknokrat-birokrasi, tetapi juga pemimpin tokoh yang berhasil memadukan IPTEK dan IMTAQ sebagai inti ajaran modernisasi Islam di dunia modern. Oleh sebab itu, logis kalau sejak itu identitas kepemiminannya meroket tidak hanya sebagai tokoh pemimpin Islam  di Indonesia tapi juga di dunia.

Sebagai pemimpin politik nasional, Habibie mencanangkan demokratisasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat yang sudah merdeka. Langkah-langkah politiknya adalah membebaskan tahanan poltik rezim sebelumnya, membebaskan birokrasi dari kepentingan politik, membebaskan rakyat untuk mendirikan partai politik, dan membuka kran kebebasan pers. Akibatnya, Golkar yang pada hakikatnya adalah kekaryaan harus berubah menjadi partai, jumlah partai politik menjadi puluhan, dan koran banyak bermunculan. Langkah-langkah ini tampak sejalan dengan gerakan reformasi yang menuntut demokratisasi dan pemberantasan KKN, demi pelaksanaan good governance dan pembentukan civil society. Namun dampak dari semuanya sungguh luar biasa. Munculnya banyak partai menimbulkan pertentangan ideologis yang bersifat sektarian. Netralisasi birokrasi  menimbulkan perpecahan kaum elit politik.

Pemberantasan KKN praaktis menimbulkan perpecahan di seluruh kekuatan pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun judikatif. Perjuangan civil society menimbulkan huru hara yang anarkis antar berbagai kekuatan sosial dan organisasi masyarakat. Bahkan kebebasan pers menghasilkan persaingan sengit yang mengarah pada monopoli.

Kesimpulan dari semua ini adalah bahwa kepemimpinan politik Habibie melaksanakan kebijakan yang tidak sesuai dengan budaya politik. Kebijakan politik tidak dibuat tanpa memperhatikan kondisi nyata politik nasional. Demokrasinya terkesan dengan demokrasi barat, yakni demokrasi masyarakat maju yang penduduknya memiliki kesadaran dan tanggung jawab individu dan sosial yang besar. Atau demokrasi yang masyarakatnya civil society, yang berjiwa aktif dan semangat saling percaya, saling menghargai, dan mampu saling bekerja sama demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Di atas semuanya, dalam pelaksanaan kebijakan politik, habibie sebagai pemimpin dianggap kurang peka terhadap budaya politik yang berkembang semasa orde baru.

Baca juga: LPDP!!! Seleksi kejujuran dan apa adanya 

Posting Komentar untuk "Resume Buku Komunikasi dan Identitas Kepemimpinan, Studi Tentang Kepemimpinan BJ Habibie"

Pasang Backlink Profesional Terpercaya untuk Blog Anda di Website Ini

KLIK DISINI